Sekilas Organisasi Kepanduan Hizbul Wathan
Sebagai pengantar, dalam tulisan ini pembaca terlebih dahulu diajak untuk memahami organisasi kepanduan dari aspek organisasi persyarikatan maupun bernegara. Dari aspek persyarikatan, melalui SK PP Muhammadiyah No. 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999 tanggal 10 Sya’ban 1420H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1999M tentang pembangkitan kembali Hizbul Wathan (HW), secara tegas dinyatakan bahwa ortom HW adalah suatu sistem pendidikan kepanduan dan pembinaan watak bagi remaja putra dan putri Muhammadiyah di luar lingkungan keluarga dan di luar lingkungan sekolah. Ia berfungsi sebagai wahana pembinaan dan pengembangan putra putri Muhammadiyah dengan menerapkan prinsip dasar kepanduan dalam perwujudan ciri dan jatidiri yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan dan perkembangan bangsa serta masyarakat Indonesia. Dari aspek ketatanegaraan, keberadaan organisasi pandu sejalan dengan tuntutan Undang-undang RI Pasal 26 Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional dan penjelasannya bahwa pendidikan non-formal yang di dalamnya adalah pendidikan kepemudaan yang mencakup pendidikan kepanduan masih diharapkan untuk berperan dalam menyiapkan pemimpin bangsa atau pemimpin ummat. Sesuai sifat dan nilai-nilai perjuangan yang dikembangkan oleh organisai kepanduan pada umumnya, ortom HW memiliki ciri yang tertuang dalam rumusan komitmen Tiga Janji (Setia mengerjakan kewajiban terhadap Allah SWT, Undang-undang dan tanah air; Menolong siapa saja semampu saya; dan Setia menepati Undang-undang HW). Komitmen ini selanjutnya dijabarkan dalam bentuk perilaku berorganisasi menjadi sepuluh butir Undang-undang HW, yakni : 1) Selamanya dapat dipercaya; 2) Setia dan teguh hati; 3) Siap menolong dan wajib berjasa; 4) Cinta perdamaian dan persaudaraan; 5) Sopan santun dan perwira; 6) Menyayangi semua makhluk; 7) Siap melakukan perintah dengan ikhlas; 8) Sabar dan bermuka manis; 9) Hemat dan cermat; dan 10) Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Organisasi Pandu Banten Membaca.
Setelah memahami aspek filosofis, ideologis, dan strategis keberadaan organisasi kepanduan sebagaimana tersebut di atas, sekiranya untuk mempertajam pemahaman peran organisasi pandu dalam konteks pergaulan global, patut kita cermati penelitian Asian Development Bank (ADB) yang dipublikasikan dalam Key Indicator 2007 di Beijing (Merdeka, Kamis, 9 Agustus 2007) tentang fakta “Orang Miskin di Asia Semakin Terpinggirkan”. Faktanya, di China sejak 1999 hingga 2004 pertumbuhan pengeluaran 20% warga terkayanya mencapai 180% per bulan, sedangkan warga termiskinnya hanya 20%---sementara di Indonesia untuk 1999 hingga 2002 pertumbuhan pengeluaran 20% warga terkayanya mencapai 34%, warga termiskinnya hanya 10%-15%. Ketimpangan tingkat sosial ekonomi antara masyarakat kaya dan miskin ini pun ditambah lagi dengan indikasi kemiskinan ilmu yang tampak dari jumlah terbitan buku, seperti secara berurutan China-Malaysia-Vietnam-Indonesia dengan jumlah penduduk masing-masing 1,3 juta jiwa-26 juta jiwa-80 juta jiwa-220 juta jiwa, menghasilkan buku masing-masing pertahun 140.000 judul-10.000 judul-15.000 judul-10.000 judul.
Dengan asumsi fakta kajian nasional menjadi refleksi kenyataan lapangan tingkat lokal, pertanyaannya bagaimana dengan sebuah negeri Banten tempat kita berpijak saat ini? Memahami konsep mulailah dari diri sendiri (Ibda’ binafsika), selanjutnya peran apa yang seharusnya kita lakukan---termasuk dalam hal ini ortom HW yang berada diantara 9.351.470 jiwa penduduk Banten. Tentu saja kita semua sepakat idealnya adalah hasil penelitian tersebut tidak sekedar tumpukan kertas tanpa makna tersimpan di brangkas dokumen tanpa diketahui bagaimana cara menjadikannya sebagai acuan dasar sebuah kebijakan yang berwujud karya. Idealnya setiap rumusan kebijakan dapat menggerakkan potensi sumber daya yang dimiliki agar berkontribusi positif terhadap pertumbuhan sekitar 3.370.182 jiwa (36,04%) anak-anak, 240.742 jiwa (2,57%) lanjut usia, dan 5.740.546 jiwa berusia diantara 15 sampai 64 tahun. Bahkan dari optimalisasi potensi dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2005 yang mayoritas berasal dari sektor industri pengolahan (49,75%), diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran (17,13%), pengangkutan dan komunikasi (8,58%) dan pertanian yang hanya 8,53%. Sementara berdasarkan jumlah penyerapan tenaga kerja, industri 23,11% tenaga kerja, diikuti oleh pertanian (21,14%), perdagangan (20,84%) dan transportasi/ komunikasi yang hanya 9,50%. (Sumber: Banten dalam Angka 2006).
Membaca Kegalauan Seorang Tokoh Pandu Tua.
Dari gambaran potensi lokal yang dimiliki di atas, dalam kerangka berpikir nasional Abdul Rasyid seorang pandu tua tokoh pramuka nasional dalam makalah semiloka ”Refleksi Gerakan Kepanduan Indonesia di Masa Depan (Kampus Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 08 September 207) mempertanyakan berbagai hal yang mungkin menjadi penyebab dan sekaligus menyanggah dengan pembuktian mengapa Indonesia masih menjadi negara miskin. Pertama, Apakah karena baru 62 tahun merdeka? Apakah umur menentukan kemakmuran suatu negara? Jelas tidak, negara tetap miskin atau maju menjadi kaya tidak tergantung pada umur negara itu. Sebagai bukti India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Sebaliknya–Singapura, Korea Selatan, Singapore & Malaysia–negara yang umurnya kurang dari 60 tahun, saat ini menjadi bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin. Kedua, Apakah sumber daya alam yang dimiliki suatu negara menentukan kondisi negara? Kenyataannya juga tidak. Indonesia memiliki kekayaan sumber alam melimpah tetapi tetap miskin. Sebaliknya, Jepang mempunyai area yang sangat terbatas---sekitar 80% daratannya berupa pegunungan dan tidak cukup untuk menghasilkan pertanian & peternakan Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya. Begitu juga Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Bahkan Swiss juga tidak mempunyai sistem keamanan dan persenjataan yang canggih, tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia. Ketiga, Bukankah kecerdasan anak-anak negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan kecerdasan anak-anak di negara miskin? Juga tidak. Para eksekutif negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang sependapat tidak ada perbedaan signifikan dalam hal kecerdasan. Artinya, kecerdasan warga masyarakat bukanlah faktor penentu utama kemakmuran suatu negara. Keempat, Bagaimana dengan suku bangsa? Akankah suku bangsa tertentu memiliki kemampuan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya? Inipun tidak terbukti. Buktinya, Cina yang diduga merupakan suku bangsa yang memiliki kelebihan di banyak negara, yang menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/ kaya di Eropa, ternyata bangsa cina masih miskin.
Menyadari kontroversi pembuktian perilaku warga bangsa di atas, lalu…....apa perbedaannya? Mengapa kita masih menjadi negara miskin? Perbedaannya adalah pada sikap/ perilaku warga bangsanya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Dalam kehidupan, warga masyarakat memiliki hubungan yang bersifat vertikal kepada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa dan yang bersifat horizontal pada sesamanya. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata mayoritas warga negaranya dalam berhubungan dengan sesamanya sehari-hari mengikuti atau mematuhi sembilan (9) prinsip dasar kehidupan, yaitu: (1) Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari; (2) Kejujuran dan integritas; (3) Bertanggung jawab; (4) Hormat pada aturan & hukum masyarakat; (5) Hormat pada hak orang/ warga lain; (6) Cinta pada pekerjaan; (7) Berusaha keras untuk menabung & investasi; (8) Mau bekerja keras; dan (9) Tepat waktu. Kenyataannya, di negara terbelakang/ miskin/ berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut. Bagaimana sikap dan perilaku warga bangsa kita?
Berhijrah Ujud Cinta Tanah Air Pandu
Menjawab berbagai kegalauan di atas, lebih lanjut Rasyid mempertanyakan adakah semua ini terjadi karena kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan antar manusia “hablumminnanaas”? Bagaimana agar warga bangsa melaksanakan sembilan (9) prinsip dasar kehidupan tersebut? Jawabnya, tiada lain adalah pendidikan termasuk lewat kegiatan kepanduan. Disini, kultur masyartakat harus menjadi sumber pengembangan sembilan prinsip dasar kehidupan. Artinya, setiap unsur kegiatan harus mengarah pada pengembangan cinta tanah air, dimana setiap individu harus bisa menjadi teladan bagi warga masyarakat yang lain. “Engkau, wahai kota
Mekkah adalah negeri yang paling saya cintai”, sabda Nabi ketika hijrah ke Madinah. Cinta tanah air, bangsa dan negaranya adalah manifestasi iman bukan sekedar sebagian dari iman. Jadi bila tidak ada cinta kepada tanah air, kepada bangsanya maka tidak ada iman di dalam dadanya. Ciri-ciri ada iman adalah cinta kepada tanah airnya (Qurais Syihab). Orang yang tidak mencintai tanah airnya boleh kita sebut sebagai pengkhianat. Orang yang beriman menempatkan negara di tempat yang tinggi. Karena tempatnya yang tinggi ini, oleh Allah tanah air disejajarkan dengan agama. Bisakah kita umat muslim melaksanakan peran tersebut? Bisa, tetapi perlu dilakukan secara sadar dan terencana serta ada dukungan dan kerjasama dari keluarga. Jika kita semua tidak memikirkan hal ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri kita!!! Tetapi. jika setiap individu kita tidak memikirkan hal ini, tidak menyampaikan hal ini kepada warga masyarakat yang lain, tidak akan terjadi perubahan apa-apa pada bangsa & negara kita. Bangsa & Negara kita akan tetap berlanjut dalam kemiskinan…... penderitaan….dan akan menjadi lebih miskin & menderita lagi. Kita harus mulai dari mana saja. Jawabannya, kita ingin berubah dan bertindak! ……. Perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Mari kita laksanakan sembilan prinsip dasar kehidupan dalam bermasyarakat di mana saja berada. Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita juga bukan miskin (terbelakang) karena bodoh Kita terbelakang dan miskin karena sikap dan perilaku kita yang kurang baik. (demikian Abdul Rasyid menekankan).
Organisasi Pandu HW Banten dalam Bingkai Visi
Mengacu kepada rumusan bersama dalam rapat kerja (Padarincang 26-27 September 2006), kegiatan membangun sekolah di Kampung Kompol Baduy Luar, mendirikan amal usaha penerbit, dan kedai HW---setidaknya menjadi gambaran peran suci organisasi dalam upaya menerapkan esensi dasar jabaran visi ”Menjadi Organisasi Pandu Pembelajar yang Perduli di Banten”. Disini pembelajar berbeda dengan pelajar. Seorang disebut pembelajar tidak mesti menjadi pelajar. Kalau seorang pelajar membutuhkan ruang dan tempat untuk belajar maka sipembelajar tidak dibatasi oleh sekat waktu, ruang, negara, dan tepat. Sipembelajar akan mengatakan “alam terkembang jadi guru”, sementara seorang pelajar menyebut guru kencning berdiri murid kencing berlari. Artinya, seorang bermental pelajar cenderung menjadi peniru atau mencontoh apa yang diperbuat oleh orang yang danutnya. Berbeda halnya dengan seorang pembelajar---ia cenderung menjadi dirinya sendiri atas dasar kemampuan daya pikir, daya karsa, dan daya karya yang ia miliki. Ini artinya, seorang menjadi pembelajar apabila ia mampu mengaplikasikan dirinya sebanyak banyak manfaat bagi orang lain atau makhluk sekitar. Ini semua menjadi konsep dasar aplikasi moto warga pandu ”Aktif Meningkatkan Potensi Diri, Progressif Menebar Manfaat Bagi Negeri”. Tentunya ini semua tidak terlepas dari memelihara dan meingkatkan kemampuan dan kemauan untuk menjadi pembaharu atau senantiasa berubah ”tidak akan berubah nasib suatu kaum kalau ia sendiri tidak mau mengubahnya”.
Semoga cita-cita dan harapan ini semua menjadi sumbangsih kecil menjawab kekhawatiran hasil penelitian yang mengatakan bahwa salah satu penyebab ketimpangan ekonomi sosial antara sikaya dan simiskin (miskin harta dan miskin ilmu) adalah karena keliru dalam kebijakan pembangunan infrastruktur dan kesalahan kebijakan investasi, terutama dalam penyediaan akses bagi pendidikan dan kesehatan bagi semua lapisan masyarakat. Akhirnya patut kiranya kita mencermati kegiatan sekitar 28.800 anak muda laki-laki dan perempuan berusia 14 hingga 17 tahun dari 150 negara berkumpul di Hylands Park, Chemsford, 50 km ke arah timur laut dari London, ibukota negara Kerajaan Inggris, dari tanggal 27 Juli s.d 8 Agustus 2007. Para peserta Jambore Pramuka Sedunia (World Scout Movement) yang secara reguler empat tahun sekali di tempat dan negara yang berbeda, untuk tahun ini diselenggarakan di tempat kelahiran bapak pandu sedunia Lord Baden Powell, yang sekaligus sebagai puncak kegiatan 100 tahun Gerakan Pramuka Dunia dengan tema Satu Dunia Satu Janji (One World One Promise). Ini artinya keberadaan organisasi kepanduan dimanapun ia berada dimaksudkan sebagai wahana pendidikan untuk meningkatkan perdamaian dan saling pengertian di antara sesama---tidak sekedar kegiatan baris-berbaris dalam artian fisik, akan tetapi secara lebih luas bagaimana merapatkan dan meluruskan barisan dalam semangat saling percaya (khusnuzon), jauh sifat prasangka (suuzhon) karena akan menyebabkan keletihan kolektif tanpa tahu apa yang akan diperbuat. (Penulis; Ketua Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Kwartir Wilayah Banten) Zalzulifa
Rabu, 30 Januari 2008
Kita Butuh Pempimpin VISIONER, bukan BROKER
Hampir semua media baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini gencar menyoroti masalah percaloan dan korupsi yang terjadi di Indonesia. Sebagai pembaca aktif, satu hal yang muncul dalam pikiran penulis ialah adanya pepatah orang tua yang mengatakan “anak bagaimana bapaknya”. Artikel ini muncul juga didorong oleh keinginan untuk berbagi kesan atas kunjungan penulis ke negara jiran atas undangan pemerintah Malaysia (8 s.d 20 Agustus 2005) mengikuti pelatihan Instructional Design and Content Development di Multimedia University. Menurut hemat penulis, kemajuan yang dicapai Malaysia tidak terlepas dari kepemimpinan visioner yang direpresentasikan oleh kepiawaian Mahathir memainkan stratetegi politik global yang dikenal lantang mengajak bangsa melayu melawan hegemony barat dengan otak ketimbang otot. Selanjutnya tampilan kesederhanaan seorang pemimpin dalam diri seorang Abdullah Baidowi, juga telah menjadi penyejuk jiwa bagi warganya untuk tidak berpikir instan sedikit usaha serta mengorbankan nilai kritis intelektual demi sebuah kekuasaan. Bahkan, kombinasi arif kepemimpinan generasi tua dan progressifnya generasi muda semakin tampak jelas dari semangat yang terkandung dalam kata sambutan Prof Datuk Dr. Ghauth Jasmon, President Multimedia University tempat penulis mengikuti pelatihan bahwa keberadaan universitas swasta pertama yang ia pimpin sebagai ujud nyata dari ikon motivasi pembangunan bangsa Malaysia yang progresif, dinamis, berperadaban dan dihormati. Implementasinya, masyarakat digiring kearah rasionalitas berpikir sehingga tidak satu pun media tivi menyiarkan cerita-cerita mistik sebagaimana kita saksikan di berbagai media televisi Indonesia dewasa ini. Kalau di negara jiran banyak sarana umum monumental dibangun dari hasil keuntungan eksplorasi minyak bumi oleh Pertronas, berbeda dengan apa yang kita saksikan di Indonesia---banyak bangunan mewah ternyata menjadi milik pribadi mantan direktur sebuah usaha milik negara. Disinilah para pemimpin Malaysia dapat dikatakan telah berhasil meletakkan nilai dasar keyakinan bangsa mayoritas muslim untuk tidak terisolasi dalam pergaulan global. Ini artinya, potret kepemimpinan visioner dari seorang pemimpin yang tahu saatnya turun dari gelanggang kekuasaan telah menjadi sumber inspirasi pembangunan akhlak bangsa atas pijakan keyakinan yang lurus.
Berangkat dari kesan yang muncul selama kunjungan singkat di Malaysia dan adanya fenomena korupsi ataupun percaloan di tanah air, maka selaku guru Bahasa Inggris penulis ingat kata “broker”, kata pemantik untuk mengatakan secara halus dan keren istilah yang dikenal umum dengan kata “calo”. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan profesi calo, asalkan dijalankan secara profesional dan mengambil hak secara proporsional atas profesi tersebut. Namun, kini tampaknya kata calo menjadi kata yang cukup populer untuk menggambarkan fenomena korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Saking populernya, profesi calo tidak hanya ada dalam urusan ekonomi, bahkan juga dalam urusan budaya, keyakinan religi, dan demonstrasi---sebagaimana kita saksikan betapa profesi itu dengan bangganya dipertontonkan oleh seorang mantan presiden ikut long march demonstrasi menolak tercapainya proses damai di negeri serambi mekah---yang notabene dulunya ketika menjabat tidak pernah disentuh untuk diselesaikan secara tuntas. Petanyaannya, apakah semua ini merupakan buah kepemimpinan yang ternyata lebih bermental “calo” ketimbang “cere”? Kamus Bahasa Indonesia, Peter Salim (1991) mendefinisikan kata calo sebagai seorang perantara dengan kata sifat atau ajektifnya calung, yakni suka menerima suap atau sogok. Sementara kata cere ialah sejenis pohon padi yang cepat menghasilkan buah. Untuk kata kedua ini, kita tentunya ingat pepatah “jadilah manusia padi, semakin berisi semakin merunduk”.
Menyaksikan fenomena kepemimpinan calo, seakan mengingatkan kita kepada perilaku kepemimpinan raja yang bisanya hanya duduk manis di kursi singgasana menanti upeti---padahal idealnya raja alim raja disembah, raja zalim raja dibantah. Rasanya kita mulai rindu ingin menyaksikan berbagai tayangan media cetak maupun elektronik tentang keberhasilan produk sebuah kepemimpinan motor, kreator, fasilitator, mediator dan inovator kegiatan eksplorasi sumberdaya alam olah pikir anak bangsa yang dapat mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan manusia---bukan buah kepemimpinan calo yang berpikir sebatas komisi. Seyogyanya sudah saatnya muncul kesadaran bahwa tayangan mistik hanyalah menjadi provokator perusak moral yang berakibat munculnya sikap pesmistik pasrah kalah oleh kekuatan makhluk lain. Bagaimana kita akan menjadi bangsa besar yang dihormati dan dihargai apabila untuk sebuah keyakinan saja banyak para figur berlabel agama seakan mencari-cari format keyakinan berdasar akal pikirannya. Akibatnya masyarakat awam pun jadi bingung dikala tokoh panutan memutarbalikkan fakta haram jadi halal dan halal pun menjadi haram.
Sesungguhnya, nalar awam pun menyadari bahwa mengelola sebuah negara besar seperti Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa tidak semudah membalik telapak tangan. Jangankah mengurus negara, untuk mengurus organisasi setingkat rukun tetangga saja butuh kemampuan manajerial dengan visi dan misi yang kuat. Dengan visi setidaknya dapat menjadi indikator awal sejauhmana kejujuran sang pemimpin dan saatnya ketika dikritik tidak bersikap arogan tinggi hati menutup diri untuk membangun kepemimpinan dialogis---apakah sang pemimpin tergolong sidik (jujur), tabligh (penyampai yang baik), amanah (dipercaya), dan fathonah (cerdas)---dan apakah tergolong pemimpin pembuat masalah (problem makers), pemelihara masalah (problem keepers) atau penyelesai masalah (problem solvers). Kata orang bijak, saatnya kita butuh figur pemimpin yang cerdas mencerdaskan, bukan mencedrai; pintar memintarkan, bukan memintari; hidup menghidupkan, bukan menghidupi; cerdas ikhlas pintar benar, bukan cerdas culas pintar keblingar.
Sorotan berbagai media terhadap wajah pemimpin yang sibuk menjawab seolah tanpa dosa atas perilaku korupsi berjamaah yang ia lakukan (diantaranya Dana Abadi Umat maupun BBM), logika masyarakat seakan dijungkirbalikkan karena merekalah pemilik kebenaran sejati. Kita tentu tidak yakin bahwa para pemimpin kita tergolong orang-orang yang sekedar mencari makan atau pengisi perut dibalik sebuah kekuasaan. Karena secara kasat mata mereka bukan golongan ekonomi lemah yang berpikir masih sekitar pusar alias usus. Nalar sederhana masyarakat biasa pun pasti mengatakan bahwa mereka semua pasti tahu bahwa telah terjadi peristiwa busung lapar, siswa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah, dan peristiwa mengenaskan lainnya yang terjadi di setiap sudut pelosok bumi pertiwi nan subur makmur nyanyian tempo dulu.
Patut hendaknya kita syukuri bahwa masyarakat saat ini sudah mulai cermat memperhatikan setiap kata demi kata sang pemimpin karena sadar akan hukum alam “sekali berbohong akan terjebak pada perilaku bohong berikutnya”. Masyarakat tentunya menyadari ketidakpantasan menyerahkan amanah tugas “sebagai pelayan publik” kepada orang yang terjebak pada kondisi kepemimpinan yang tidak memimpin, penguasa yang tidak berkuasa. Yakni, figur yang dikala menghadapi masalah cenderung menjadikan sebuah momen untuk keuntungan pribadi dengan mengambil posisi sebagai juru(s) selamat ketimbang juru(s) penyelamat---pemimpin yang tidak sportif, yang apabila menghadapi masalah cenderung melempar tanggung jawab bagaikan pemimpin berkaca mata hitam yang bisanya melihat orang lain tanpa mau memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Disinilah kita butuh kepemimpinan yang mempunyai keperibadian kuat, jujur, cerdas dan berani; bukan kepemimpinan yang rela mengorbankan nilai-nilai keyakinan serta intelektual tanpa memberi pencerahan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Malaysia mungkin beruntung memiliki pemimpin yang tahu saatnya untuk turun dari gelanggang. Akan tetapi, bangsa Indonesia tentunya berharap agar kepemimpinan calo bukanlah tipikal umum pemimpin kita yang hanya karena kebutuhan perut dan iming-iming sejumlah kecil nilai rupiah turut melanggengkan proses kebangkrutan negara dengan membiarkan berbagai virus penyebab multi krisis (moral, budaya, ekonomi, politik, dan hukum) menjadi semakin subur. Menjadikan perilaku korupsi sebagai musuh bersama barangkali cukup relevan dengan kriteria umum penegak amal ma’ruf nahi mungkar, yang dirangkum oleh para agamawan dalam lima kriteria pemimpin pilihan, yaitu: [1] Bertakwa, [2] Jujur dan adil, [3] Cakap dan kompeten, [4] Mencintai dan dicintai rakyat, dan [5] Berakhlak mulia. Seorang bertakwa selalu takut berbuat maksiat, apalagi menzalimi. Seorang jujur dan adil akan selalu membela yang benar, tidak mementingkan diri sendiri. Seorang yang cakap dan kompeten tahu dan mampu bagaimana mengurus organisasi dengan baik. Seorang yang mencintai dan dicintai akan selalu mengedepankan program yang memberi kemanfaatan secara luas. Seorang berakhlak mulia gemar pada kebaikan dan akan selalu dapat menjadi teladan di lingkungannya yang saat ini hampir hilang dari negeri ini.
Terlelas dari rasa pesimistik anak bangsa untuk terciptanya negeri makmur gemah ripah loh jenawi toto tentran kertareharjo, penulis masih melihat secercah harapan dari langkah nyata Bapak Machtuh Basyuni memberantas korupsi dengan terlebih dahulu menyampaikan kepada anggota keluarga “untuk tidak menginjak lantai kantor Departemen Agama kalau hanya untuk sekedar mencari order” dalam pidato acara berbuka bersama di rumah beliau satu minggu sebelum dilantik menjadi menteri agama. Bagi penulis, sekalipun presiden saat ini adalah pilihan kedua setelah sang idola penulis gugur pada putaran pertama, semoga saja langkah menteri agama tersebut diikuti oleh para menteri lain atas dukungan penuh komitmen Susilo Bambang Yudhoyono sebagai seorang presiden dengan kepemimpinan visioner, bukan “kepemimpinan calo atau broker yang nyata-nyata telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa selama ini. Dengan gaya kepemimpinan presiden yang responsif, akomodatif, dan komunikatif, kita tidak lagi dapat mengatakan telah memiliki pemimpin dalam konteks “kecelakaan sejarah” sebagaimana istilah Bapak Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) antara Pelit Bicara dengan sulit Berhenti Bicara. Akan tetapi, dengan gelar honoris causa yang baru saja disandang, sejarah akan mencatat SBY sebagai presiden Indonesia yang kaya wacana dan banyak karya. Selamat!!!(Zalzulifa)
Berangkat dari kesan yang muncul selama kunjungan singkat di Malaysia dan adanya fenomena korupsi ataupun percaloan di tanah air, maka selaku guru Bahasa Inggris penulis ingat kata “broker”, kata pemantik untuk mengatakan secara halus dan keren istilah yang dikenal umum dengan kata “calo”. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan profesi calo, asalkan dijalankan secara profesional dan mengambil hak secara proporsional atas profesi tersebut. Namun, kini tampaknya kata calo menjadi kata yang cukup populer untuk menggambarkan fenomena korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Saking populernya, profesi calo tidak hanya ada dalam urusan ekonomi, bahkan juga dalam urusan budaya, keyakinan religi, dan demonstrasi---sebagaimana kita saksikan betapa profesi itu dengan bangganya dipertontonkan oleh seorang mantan presiden ikut long march demonstrasi menolak tercapainya proses damai di negeri serambi mekah---yang notabene dulunya ketika menjabat tidak pernah disentuh untuk diselesaikan secara tuntas. Petanyaannya, apakah semua ini merupakan buah kepemimpinan yang ternyata lebih bermental “calo” ketimbang “cere”? Kamus Bahasa Indonesia, Peter Salim (1991) mendefinisikan kata calo sebagai seorang perantara dengan kata sifat atau ajektifnya calung, yakni suka menerima suap atau sogok. Sementara kata cere ialah sejenis pohon padi yang cepat menghasilkan buah. Untuk kata kedua ini, kita tentunya ingat pepatah “jadilah manusia padi, semakin berisi semakin merunduk”.
Menyaksikan fenomena kepemimpinan calo, seakan mengingatkan kita kepada perilaku kepemimpinan raja yang bisanya hanya duduk manis di kursi singgasana menanti upeti---padahal idealnya raja alim raja disembah, raja zalim raja dibantah. Rasanya kita mulai rindu ingin menyaksikan berbagai tayangan media cetak maupun elektronik tentang keberhasilan produk sebuah kepemimpinan motor, kreator, fasilitator, mediator dan inovator kegiatan eksplorasi sumberdaya alam olah pikir anak bangsa yang dapat mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan manusia---bukan buah kepemimpinan calo yang berpikir sebatas komisi. Seyogyanya sudah saatnya muncul kesadaran bahwa tayangan mistik hanyalah menjadi provokator perusak moral yang berakibat munculnya sikap pesmistik pasrah kalah oleh kekuatan makhluk lain. Bagaimana kita akan menjadi bangsa besar yang dihormati dan dihargai apabila untuk sebuah keyakinan saja banyak para figur berlabel agama seakan mencari-cari format keyakinan berdasar akal pikirannya. Akibatnya masyarakat awam pun jadi bingung dikala tokoh panutan memutarbalikkan fakta haram jadi halal dan halal pun menjadi haram.
Sesungguhnya, nalar awam pun menyadari bahwa mengelola sebuah negara besar seperti Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa tidak semudah membalik telapak tangan. Jangankah mengurus negara, untuk mengurus organisasi setingkat rukun tetangga saja butuh kemampuan manajerial dengan visi dan misi yang kuat. Dengan visi setidaknya dapat menjadi indikator awal sejauhmana kejujuran sang pemimpin dan saatnya ketika dikritik tidak bersikap arogan tinggi hati menutup diri untuk membangun kepemimpinan dialogis---apakah sang pemimpin tergolong sidik (jujur), tabligh (penyampai yang baik), amanah (dipercaya), dan fathonah (cerdas)---dan apakah tergolong pemimpin pembuat masalah (problem makers), pemelihara masalah (problem keepers) atau penyelesai masalah (problem solvers). Kata orang bijak, saatnya kita butuh figur pemimpin yang cerdas mencerdaskan, bukan mencedrai; pintar memintarkan, bukan memintari; hidup menghidupkan, bukan menghidupi; cerdas ikhlas pintar benar, bukan cerdas culas pintar keblingar.
Sorotan berbagai media terhadap wajah pemimpin yang sibuk menjawab seolah tanpa dosa atas perilaku korupsi berjamaah yang ia lakukan (diantaranya Dana Abadi Umat maupun BBM), logika masyarakat seakan dijungkirbalikkan karena merekalah pemilik kebenaran sejati. Kita tentu tidak yakin bahwa para pemimpin kita tergolong orang-orang yang sekedar mencari makan atau pengisi perut dibalik sebuah kekuasaan. Karena secara kasat mata mereka bukan golongan ekonomi lemah yang berpikir masih sekitar pusar alias usus. Nalar sederhana masyarakat biasa pun pasti mengatakan bahwa mereka semua pasti tahu bahwa telah terjadi peristiwa busung lapar, siswa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah, dan peristiwa mengenaskan lainnya yang terjadi di setiap sudut pelosok bumi pertiwi nan subur makmur nyanyian tempo dulu.
Patut hendaknya kita syukuri bahwa masyarakat saat ini sudah mulai cermat memperhatikan setiap kata demi kata sang pemimpin karena sadar akan hukum alam “sekali berbohong akan terjebak pada perilaku bohong berikutnya”. Masyarakat tentunya menyadari ketidakpantasan menyerahkan amanah tugas “sebagai pelayan publik” kepada orang yang terjebak pada kondisi kepemimpinan yang tidak memimpin, penguasa yang tidak berkuasa. Yakni, figur yang dikala menghadapi masalah cenderung menjadikan sebuah momen untuk keuntungan pribadi dengan mengambil posisi sebagai juru(s) selamat ketimbang juru(s) penyelamat---pemimpin yang tidak sportif, yang apabila menghadapi masalah cenderung melempar tanggung jawab bagaikan pemimpin berkaca mata hitam yang bisanya melihat orang lain tanpa mau memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Disinilah kita butuh kepemimpinan yang mempunyai keperibadian kuat, jujur, cerdas dan berani; bukan kepemimpinan yang rela mengorbankan nilai-nilai keyakinan serta intelektual tanpa memberi pencerahan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Malaysia mungkin beruntung memiliki pemimpin yang tahu saatnya untuk turun dari gelanggang. Akan tetapi, bangsa Indonesia tentunya berharap agar kepemimpinan calo bukanlah tipikal umum pemimpin kita yang hanya karena kebutuhan perut dan iming-iming sejumlah kecil nilai rupiah turut melanggengkan proses kebangkrutan negara dengan membiarkan berbagai virus penyebab multi krisis (moral, budaya, ekonomi, politik, dan hukum) menjadi semakin subur. Menjadikan perilaku korupsi sebagai musuh bersama barangkali cukup relevan dengan kriteria umum penegak amal ma’ruf nahi mungkar, yang dirangkum oleh para agamawan dalam lima kriteria pemimpin pilihan, yaitu: [1] Bertakwa, [2] Jujur dan adil, [3] Cakap dan kompeten, [4] Mencintai dan dicintai rakyat, dan [5] Berakhlak mulia. Seorang bertakwa selalu takut berbuat maksiat, apalagi menzalimi. Seorang jujur dan adil akan selalu membela yang benar, tidak mementingkan diri sendiri. Seorang yang cakap dan kompeten tahu dan mampu bagaimana mengurus organisasi dengan baik. Seorang yang mencintai dan dicintai akan selalu mengedepankan program yang memberi kemanfaatan secara luas. Seorang berakhlak mulia gemar pada kebaikan dan akan selalu dapat menjadi teladan di lingkungannya yang saat ini hampir hilang dari negeri ini.
Terlelas dari rasa pesimistik anak bangsa untuk terciptanya negeri makmur gemah ripah loh jenawi toto tentran kertareharjo, penulis masih melihat secercah harapan dari langkah nyata Bapak Machtuh Basyuni memberantas korupsi dengan terlebih dahulu menyampaikan kepada anggota keluarga “untuk tidak menginjak lantai kantor Departemen Agama kalau hanya untuk sekedar mencari order” dalam pidato acara berbuka bersama di rumah beliau satu minggu sebelum dilantik menjadi menteri agama. Bagi penulis, sekalipun presiden saat ini adalah pilihan kedua setelah sang idola penulis gugur pada putaran pertama, semoga saja langkah menteri agama tersebut diikuti oleh para menteri lain atas dukungan penuh komitmen Susilo Bambang Yudhoyono sebagai seorang presiden dengan kepemimpinan visioner, bukan “kepemimpinan calo atau broker yang nyata-nyata telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa selama ini. Dengan gaya kepemimpinan presiden yang responsif, akomodatif, dan komunikatif, kita tidak lagi dapat mengatakan telah memiliki pemimpin dalam konteks “kecelakaan sejarah” sebagaimana istilah Bapak Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) antara Pelit Bicara dengan sulit Berhenti Bicara. Akan tetapi, dengan gelar honoris causa yang baru saja disandang, sejarah akan mencatat SBY sebagai presiden Indonesia yang kaya wacana dan banyak karya. Selamat!!!(Zalzulifa)
GENERASI NYELENEH
“Bersegeralah kalian menuju amal saleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, dimana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman, maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menajadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia (Shahih HR Muslim No. 117 dan Tirmizi)."
Memahami hadits di atas relevan kiranya dengan kenyataan dewasa ini umat islam seakan sedang diuji dari berbagai penjuru. Sudah tertinggal dalam urusan ibadah mu’amalah keduniawian, dalam urusan ibadah mahdhah pun umat dibingungkan oleh munculnya berbagai pikiran nyeleneh seakan-akan ajaran islam belum sempurna menafikan ayat terakhir (al-Maidah 3). Disatu sisi kita bangga dengan perkembangan islam di negara maju yang masyarakatnya berbondong-bondong mengucapkan dua kalimat shahadat atas kesadaran sendiri setelah melalui pemahaman dan pengkajian kritis tentang kitab suci al-qur’an. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari di tanah air seringkali kita menyaksikan sesama penganut agama samawi pun belum mampu mengembangkan budaya dialogis dalam urusan keduniaan sekalipun Allah memerintahkan agar kembali ke al-qur’an dalam menyikapi suatu perbedaan (An-Nisa’ 59). Kalau sesama saja belum mampu menunjukkan sebagai umat yang rahmatan lilalamin bagaimana mungkin bisa menjadi rahmat bagi manusia pemeluk agama lain?.
Kalaulah kita berpikir mundur ke belakang, terlepas dari perlunya pembuktian secara akademis, suatu hal yang perlu menjadi pertanyaan ialah jangan-jangan pikiran dan sikap nyeleneh yang muncul dewasa ini sebagai produk jangka panjang yang kalau diingat semasa kecil pun penulis seringkali menyaksikan muncul wacana mengganti bismillah dengan selamat (pagi, siang, malam), pemutarbalikan fakta haram menjadi halal dan sebaliknya oleh tokoh agama, sampai islam yes politik islam no, seakan-akan memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Artinya, apakah mungkin berkat produk pikiran nyeleneh itu sekarang muncul generasi penerus yang sungguh lebih parah nyelenehnya pada era demokrasi dan euforia reformasi dewasa ini, seperti: wacana amandemen al-qur’an, shalat dua bahasa, menzinahi santri dengan dalih sudah dijodohkan oleh nabi untuk melahirkan anak keturunan nabi baru, dan terbitnya buku habis gelap muncullah terang yang membenarkan zinah atas dasar suka sama suka. Bahkan, kedepan kita belum tahu produk pikiran nyeleneh apalagi yang akan terkuak di berbagai media massa atas nama label agama islam.
Lebih membingungkan lagi karena faktanya secara kasat mata masyarakat menyaksikan tokoh agama hafidz qur’an pemegang kekuasaan tertinggi di instansi religi ikut serta melakukan kegiatan ritual pencarian harta karun di kuburan. Demikian pula halnya dengan tokoh yang dulunya berteriak kencang tentang pemberantasan korupsi sekarang bak iringan bebek baik secara pribadi maupun secara kolektif kelembagaan seakan-akan menanti giliran menuju kamar balik terali besi satu demi satu. Melihat para figur tokoh yang ketiban sial, apakah cukup alasan untuk membenarkan penelitian Lembaga Psikologi Universitas Padjajaran (Editorial Kompas 9 Juni 2005) bahwa tindakan korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kecerdasan rendah?
Kita boleh jadi salah menerjemahkan perbedaan antara cerdas dan pintar? Yang pasti, kedepan dibutuhkan figur manusia pemimpin yang memimpin, bukan dipimpin, pemimpin yang dapat menerjemahkan perilaku manajemen renang punggung, bukan renang kodok, yakni pemimpin yang cerdas mencerdaskan, bukan mencedrai; pintar memintarkan, bukan memintari; cerdas ikhlas pintar benar, bukan cerdas culas pintar keblingar. Ketidakmampuan bersaing dengan orang lain tidak semestinya menjadikan kita cenderung menggunakan otot dari pada otak---akan tetapi, raihlah kehidupan yang lebih baik dengan berpikir keras dan bekerja cerdas (Profesional dan proporsional, sebagaimana pemahaman dari Al-Baqarah 282, ayat terpanjang dari semua ayat yang ada dalam al-qur’an).
Kiat Cerdas Menepis Ajaran Nyeleneh
Menyadari berbagai bentuk perilaku nyeleneh di atas, tulisan ini bertujuan mengingatkan umat agar berhati-hati dalam memilih dan memilah perilaku keseharian dalam menegakkan dienul islam. Ingat! islam sebagai ajaran yang menuntut berserah diri, tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah menuntut setiap muslim harus menjadikan islam sebagai dasar hidupnya? Karena dengan sikap tunduk dan patuh kepada setiap hukum Allah sajalah manusia akan mendapatkan jaminan kemaslahatan dan kebaikan hidupnya. Sebagai dasar hidup manusia, islam memiliki karakter dan ciri khas yang tidak terdapat dalam agama dan aturan hidup lainnya. Berikut tips cerdas mengenali ajaran islam menepis pikiran dan ajaran nyeleneh:
1. Ajaran islam bersifat RABBANIYAH (Ketuhanan), di sini meliputi dua kriteria “rabbaniyah dalam tujuan dan sudut pandang” dan “rabbaniyah dalam sumber acuan dan konsep”. Maksud pengertian pertama ialah bahwa islam menjadikan hubungan baik dengan Allah dan mendapat redha-Nya sebagai tujuan akhir beragama. Pengaruh yang muncul dari sifat ini ialah menjadikan manusia mengetahui tujuan hidupnya. Manusia yang berjalan sesuai dengan fitrahnya, jiwanya akan selamat dari perpecahan dan konflik bathin, hatinya tidak akan terpecah di antara berbagai tujuan dan macam arah. Seorang hamba akan terbebas dari penghambaan kepada egoisme dan nafsu syahwat, karena sifat rabbanyiah akan mendudukannya pada sikap mempertimbangkan antara kesukaan dirinya dengan tuntutan agama dan ridha-Nya. Sementara rabbaniyah dalam sumber acuan dan konsep ialah bahwa agama islam hanya bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak mungkin salah atau keliru. Manhaj islam bukan rekayasa atau buatan manusia, ambisi seseorang atau sebuah golongan, melainkan datang dari sisi Allah yang dikehendaki untuk menjadi petunjuk dan cahaya, keterangan dari kabar gembira, obat dan rahmat bagi seluruh hamba-Nya.
2. Ajaran islam bersifat INSANIYAH (Kemanusiaan)?
Islam dikatakan insaniyah dikarenakan bahwa ajaran islam diperuntukkan bagi manusia sesuai dengan fitrah dan nalurinya. Al-Qur’an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad merupakan undang-undang yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia, yang dengannya manusia akan merasakan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Tidak ada ajaran islam yang bertentangan dengan hati bersih manusia, fitrahnya maupun akal sehatnya. Wujud dari insaniyah ajaran islam adalah memberlakukan persamaan hak dan kewajiban kepada seluruh umat manusia tanpa memandang jabatan, pangkat, kedudukan atau warna kulit dan ras. Islam memberlakukan persaudaraan kepada seluruh umat manusia, tidak ada yang lebih mulia diantara mereka kecuali dengan ketakwaan dan keimanan kepada Allah.
3. Ajaran islam bersifat SYUMULIYAH (komprehensif)
Karakter syumuliyah menjadikan islam beda dari segala agama, filsafat, maupun mazhab yang pernah dianut manusia. Risalah islam merupakan sebuah risalah yang mencakup segala zaman dan generasi, bukan berhenti pada suatu masa atau zaman khusus. Ajaran islam meliputi seluruh persoalan hidup manusia diperuntukkan untuk seluruh golongan manusia. Wujud dari syumuliyah ajaran islam dapat dilihat dari sifat universalitas ajaran kepada seluruh golongan dan kelompok, suku dan ras, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, laki laki dan perempuan, bahkan sampai kepada golongan jin. Ajaran islam merupakan risalah manusia seutuhnya, meliputi persoalan individu dan sosial, pribadi dan kelompok. Ia juga meliputi persoalan pokok manusia, ruhnya, akalnya, tubuh dan hati nuraninya, kehendak dan nalurinya serta seluruh aspek hidupnya. Ajaran islam merupakan risalah manusia dalam seluruh fase-fase hidupnya, untuk yang muda maupun dewasa, yang besar maupun yang kecil. Bahkan sejak manusia lahir sehingga mendekati ajalnya, islam memberikan hukum dan bimbingan tentangnya. Ajaran islam merupakan risalah manusia dalam setiap aspek hidupnya, baik yang menyangkut ibadah maupun mu’amalah, akhlak dan moral, ekonomi dan politik, hukum-hukum pemerintahan dan sebagainya.
4. Ajaran islam bersifat WASATHIYAH (Pertengahan)
Ini merupakan karakter ajaran islam yang paling menonjol. Istilah lainnya adalah tawazun. Ajaran islam tidak semata-mata mempersoalkan kehidupan akhirat tanpa memberikan perhatian kepada kehidupan dunia. Wasathiyah ajaran islam menyangkut semua persoalan manusia secara adil dan berimbang. Gambaran praktis dari prinsip tawazun adalah adil dalam bersikap, menempatkan sesuatu pada tempatnya, fleksibel dan mudah, serta adil dari urusan dunia dan akhirat. Wasathiyah ini karakter ajaran islam yang paling unik, karena ia memadukan antara kedua karakter yang kelihatannya sangat bertentangan menjadi sebuah hubungan yang indah dan harmonis. Islam meletakkan kedua sikap tersebut menurut porsinya masing-masing. Teguh dan konsis dalam persoalan-persoalan yang mengharuskan untuk kekal dan lestari, sementara fleksibel atau luwes dalam masalah-masalah yang memang mengharuskan untuk berubah dan berkembang. Inilah yang menjadikan syari’at islam bisa diterima di segala tempat dan kondisi, cocok untuk segala keadaan dan masa. Ia bukan ajaran kaku yang mengekang para pemeluknya dengan ikatan-ikatan non realistis, sebaliknya ia juga bukan ajaran yang memberi kebebasan kepada manusia untuk berbuat semaunya.
5. Ajaran islam bersifat WAQI’IYAH (Kontekstual)
Pengertian waqi’iyah di sini adalah mengakui realitas alam sebagai hakekat yang memiliki eksistensi yang terlihat. Realitas islam juga tidak bertentangan dengan idealisme manusia, namun ia mengarahkan idealisme manusia pada kenyataan (realita) yang hakiki. Waqi’iyah ajaran islam meliputi seluruh aspek hidup manusia. Akidah islam yang waqi’iyah menyuguhkan hakikat-hakikat yang bisa diterima oleh akal dan membawa ketenangan jiwa serta tidak bertentangan dengan fitrah yang bersih. Ibadah islam juga bersifat Al-quraniyah, karena islam sangat memahami kondisi spiritualitas manusia yang memerlukan hubungan kontak (Ittishal) dengan Allah. Akhlak islam pun tidak terlepas dari karakter ini, ia memperhatikan kemampuan pertengahan yang dimiliki manusia, mengakui keimanannya, dorogan-dorongan kemanusiaan dan kebutuhan-kebutuhan material maupun psikis. Di antara gambaran tentang waqi’iyah nya ajaran islam adalah tidak mengharuskan pemeluknya untuk melepaskan mata pencahariannya dalam rangka beribadah.
6. Ajaran islam bersifat WUDHUH (Jelas)
Sifat wudhuh meliputi persoalan yang ushul maupun qawa’id. Dalam masalah ushul dan kaidah, ajaran islam memiliki prinsip yang jelas, yakni mengimani Allah itu Esa dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengimani Rasulullah dengan tidak mengikuti ajaran selainnya. Mengimani adanya hari kiamat yang pasti terjadi. Semua prinsip-prinsip ini tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Islam memiliki landasan sumber hukum yang jelas, semuanya bersumber dari rabbul’alamin yang Maha Perkasa dan Bijaksana. Sumber pertama adalah Al-Qur’an dan sumber kedua adalah As-Sunnah. Sasaran dan tujuan islam pun sangat pasti, yakni hanya untuk meraih ridha dan jannah-Nya.
Demikianlah tips mengenali ajaran agama islam secara kaffah. Penulis pun berpendapat untuk mengimplentasikan keinginan para petinggi agama “back to qur’an” tiada lain untuk mencegah agar umat tidak semakin terjebak pada pikiran-pikiran nyeleneh yang membingungkan. Budaya dialogis perlu terus dikembangkan dalam setiap aspek permasalahan sebagai realitas manusia yang dilengkapi kemampuan berpikir sebagai makhluk yang mendapat amanah untuk menjadi kalifah di bumi. Dan untuk tidak sekedar disebut latah, dipenghujung tulisan izinkan penulis ikut serta melontarkan pikiran nyeleneh yang tidak perlu dijadikan anutan “jangan tinggalkan sholat kecuali lupo, jangan berzinah kecuali suko samo suko, dan jangan korupsi kecuali babagi duo. Akan tetapi, pahami dan camkanlah enam kunci filosofi hidup “karajo bapaluah, makan batambuah, lalok bakaruah, buang aia lasuah, pikiran indak karuah dan jiwa tidak mangaluah”. Akhirnya, bagi para penyeleneh semoga jalan lurus “syiratal mustaqiim” selalu terbuka bagi umat yang mau berpikir dalam mencari redho-Nya.(Zalzulifa)
Memahami hadits di atas relevan kiranya dengan kenyataan dewasa ini umat islam seakan sedang diuji dari berbagai penjuru. Sudah tertinggal dalam urusan ibadah mu’amalah keduniawian, dalam urusan ibadah mahdhah pun umat dibingungkan oleh munculnya berbagai pikiran nyeleneh seakan-akan ajaran islam belum sempurna menafikan ayat terakhir (al-Maidah 3). Disatu sisi kita bangga dengan perkembangan islam di negara maju yang masyarakatnya berbondong-bondong mengucapkan dua kalimat shahadat atas kesadaran sendiri setelah melalui pemahaman dan pengkajian kritis tentang kitab suci al-qur’an. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari di tanah air seringkali kita menyaksikan sesama penganut agama samawi pun belum mampu mengembangkan budaya dialogis dalam urusan keduniaan sekalipun Allah memerintahkan agar kembali ke al-qur’an dalam menyikapi suatu perbedaan (An-Nisa’ 59). Kalau sesama saja belum mampu menunjukkan sebagai umat yang rahmatan lilalamin bagaimana mungkin bisa menjadi rahmat bagi manusia pemeluk agama lain?.
Kalaulah kita berpikir mundur ke belakang, terlepas dari perlunya pembuktian secara akademis, suatu hal yang perlu menjadi pertanyaan ialah jangan-jangan pikiran dan sikap nyeleneh yang muncul dewasa ini sebagai produk jangka panjang yang kalau diingat semasa kecil pun penulis seringkali menyaksikan muncul wacana mengganti bismillah dengan selamat (pagi, siang, malam), pemutarbalikan fakta haram menjadi halal dan sebaliknya oleh tokoh agama, sampai islam yes politik islam no, seakan-akan memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Artinya, apakah mungkin berkat produk pikiran nyeleneh itu sekarang muncul generasi penerus yang sungguh lebih parah nyelenehnya pada era demokrasi dan euforia reformasi dewasa ini, seperti: wacana amandemen al-qur’an, shalat dua bahasa, menzinahi santri dengan dalih sudah dijodohkan oleh nabi untuk melahirkan anak keturunan nabi baru, dan terbitnya buku habis gelap muncullah terang yang membenarkan zinah atas dasar suka sama suka. Bahkan, kedepan kita belum tahu produk pikiran nyeleneh apalagi yang akan terkuak di berbagai media massa atas nama label agama islam.
Lebih membingungkan lagi karena faktanya secara kasat mata masyarakat menyaksikan tokoh agama hafidz qur’an pemegang kekuasaan tertinggi di instansi religi ikut serta melakukan kegiatan ritual pencarian harta karun di kuburan. Demikian pula halnya dengan tokoh yang dulunya berteriak kencang tentang pemberantasan korupsi sekarang bak iringan bebek baik secara pribadi maupun secara kolektif kelembagaan seakan-akan menanti giliran menuju kamar balik terali besi satu demi satu. Melihat para figur tokoh yang ketiban sial, apakah cukup alasan untuk membenarkan penelitian Lembaga Psikologi Universitas Padjajaran (Editorial Kompas 9 Juni 2005) bahwa tindakan korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kecerdasan rendah?
Kita boleh jadi salah menerjemahkan perbedaan antara cerdas dan pintar? Yang pasti, kedepan dibutuhkan figur manusia pemimpin yang memimpin, bukan dipimpin, pemimpin yang dapat menerjemahkan perilaku manajemen renang punggung, bukan renang kodok, yakni pemimpin yang cerdas mencerdaskan, bukan mencedrai; pintar memintarkan, bukan memintari; cerdas ikhlas pintar benar, bukan cerdas culas pintar keblingar. Ketidakmampuan bersaing dengan orang lain tidak semestinya menjadikan kita cenderung menggunakan otot dari pada otak---akan tetapi, raihlah kehidupan yang lebih baik dengan berpikir keras dan bekerja cerdas (Profesional dan proporsional, sebagaimana pemahaman dari Al-Baqarah 282, ayat terpanjang dari semua ayat yang ada dalam al-qur’an).
Kiat Cerdas Menepis Ajaran Nyeleneh
Menyadari berbagai bentuk perilaku nyeleneh di atas, tulisan ini bertujuan mengingatkan umat agar berhati-hati dalam memilih dan memilah perilaku keseharian dalam menegakkan dienul islam. Ingat! islam sebagai ajaran yang menuntut berserah diri, tunduk dan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah menuntut setiap muslim harus menjadikan islam sebagai dasar hidupnya? Karena dengan sikap tunduk dan patuh kepada setiap hukum Allah sajalah manusia akan mendapatkan jaminan kemaslahatan dan kebaikan hidupnya. Sebagai dasar hidup manusia, islam memiliki karakter dan ciri khas yang tidak terdapat dalam agama dan aturan hidup lainnya. Berikut tips cerdas mengenali ajaran islam menepis pikiran dan ajaran nyeleneh:
1. Ajaran islam bersifat RABBANIYAH (Ketuhanan), di sini meliputi dua kriteria “rabbaniyah dalam tujuan dan sudut pandang” dan “rabbaniyah dalam sumber acuan dan konsep”. Maksud pengertian pertama ialah bahwa islam menjadikan hubungan baik dengan Allah dan mendapat redha-Nya sebagai tujuan akhir beragama. Pengaruh yang muncul dari sifat ini ialah menjadikan manusia mengetahui tujuan hidupnya. Manusia yang berjalan sesuai dengan fitrahnya, jiwanya akan selamat dari perpecahan dan konflik bathin, hatinya tidak akan terpecah di antara berbagai tujuan dan macam arah. Seorang hamba akan terbebas dari penghambaan kepada egoisme dan nafsu syahwat, karena sifat rabbanyiah akan mendudukannya pada sikap mempertimbangkan antara kesukaan dirinya dengan tuntutan agama dan ridha-Nya. Sementara rabbaniyah dalam sumber acuan dan konsep ialah bahwa agama islam hanya bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak mungkin salah atau keliru. Manhaj islam bukan rekayasa atau buatan manusia, ambisi seseorang atau sebuah golongan, melainkan datang dari sisi Allah yang dikehendaki untuk menjadi petunjuk dan cahaya, keterangan dari kabar gembira, obat dan rahmat bagi seluruh hamba-Nya.
2. Ajaran islam bersifat INSANIYAH (Kemanusiaan)?
Islam dikatakan insaniyah dikarenakan bahwa ajaran islam diperuntukkan bagi manusia sesuai dengan fitrah dan nalurinya. Al-Qur’an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad merupakan undang-undang yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia, yang dengannya manusia akan merasakan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Tidak ada ajaran islam yang bertentangan dengan hati bersih manusia, fitrahnya maupun akal sehatnya. Wujud dari insaniyah ajaran islam adalah memberlakukan persamaan hak dan kewajiban kepada seluruh umat manusia tanpa memandang jabatan, pangkat, kedudukan atau warna kulit dan ras. Islam memberlakukan persaudaraan kepada seluruh umat manusia, tidak ada yang lebih mulia diantara mereka kecuali dengan ketakwaan dan keimanan kepada Allah.
3. Ajaran islam bersifat SYUMULIYAH (komprehensif)
Karakter syumuliyah menjadikan islam beda dari segala agama, filsafat, maupun mazhab yang pernah dianut manusia. Risalah islam merupakan sebuah risalah yang mencakup segala zaman dan generasi, bukan berhenti pada suatu masa atau zaman khusus. Ajaran islam meliputi seluruh persoalan hidup manusia diperuntukkan untuk seluruh golongan manusia. Wujud dari syumuliyah ajaran islam dapat dilihat dari sifat universalitas ajaran kepada seluruh golongan dan kelompok, suku dan ras, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, laki laki dan perempuan, bahkan sampai kepada golongan jin. Ajaran islam merupakan risalah manusia seutuhnya, meliputi persoalan individu dan sosial, pribadi dan kelompok. Ia juga meliputi persoalan pokok manusia, ruhnya, akalnya, tubuh dan hati nuraninya, kehendak dan nalurinya serta seluruh aspek hidupnya. Ajaran islam merupakan risalah manusia dalam seluruh fase-fase hidupnya, untuk yang muda maupun dewasa, yang besar maupun yang kecil. Bahkan sejak manusia lahir sehingga mendekati ajalnya, islam memberikan hukum dan bimbingan tentangnya. Ajaran islam merupakan risalah manusia dalam setiap aspek hidupnya, baik yang menyangkut ibadah maupun mu’amalah, akhlak dan moral, ekonomi dan politik, hukum-hukum pemerintahan dan sebagainya.
4. Ajaran islam bersifat WASATHIYAH (Pertengahan)
Ini merupakan karakter ajaran islam yang paling menonjol. Istilah lainnya adalah tawazun. Ajaran islam tidak semata-mata mempersoalkan kehidupan akhirat tanpa memberikan perhatian kepada kehidupan dunia. Wasathiyah ajaran islam menyangkut semua persoalan manusia secara adil dan berimbang. Gambaran praktis dari prinsip tawazun adalah adil dalam bersikap, menempatkan sesuatu pada tempatnya, fleksibel dan mudah, serta adil dari urusan dunia dan akhirat. Wasathiyah ini karakter ajaran islam yang paling unik, karena ia memadukan antara kedua karakter yang kelihatannya sangat bertentangan menjadi sebuah hubungan yang indah dan harmonis. Islam meletakkan kedua sikap tersebut menurut porsinya masing-masing. Teguh dan konsis dalam persoalan-persoalan yang mengharuskan untuk kekal dan lestari, sementara fleksibel atau luwes dalam masalah-masalah yang memang mengharuskan untuk berubah dan berkembang. Inilah yang menjadikan syari’at islam bisa diterima di segala tempat dan kondisi, cocok untuk segala keadaan dan masa. Ia bukan ajaran kaku yang mengekang para pemeluknya dengan ikatan-ikatan non realistis, sebaliknya ia juga bukan ajaran yang memberi kebebasan kepada manusia untuk berbuat semaunya.
5. Ajaran islam bersifat WAQI’IYAH (Kontekstual)
Pengertian waqi’iyah di sini adalah mengakui realitas alam sebagai hakekat yang memiliki eksistensi yang terlihat. Realitas islam juga tidak bertentangan dengan idealisme manusia, namun ia mengarahkan idealisme manusia pada kenyataan (realita) yang hakiki. Waqi’iyah ajaran islam meliputi seluruh aspek hidup manusia. Akidah islam yang waqi’iyah menyuguhkan hakikat-hakikat yang bisa diterima oleh akal dan membawa ketenangan jiwa serta tidak bertentangan dengan fitrah yang bersih. Ibadah islam juga bersifat Al-quraniyah, karena islam sangat memahami kondisi spiritualitas manusia yang memerlukan hubungan kontak (Ittishal) dengan Allah. Akhlak islam pun tidak terlepas dari karakter ini, ia memperhatikan kemampuan pertengahan yang dimiliki manusia, mengakui keimanannya, dorogan-dorongan kemanusiaan dan kebutuhan-kebutuhan material maupun psikis. Di antara gambaran tentang waqi’iyah nya ajaran islam adalah tidak mengharuskan pemeluknya untuk melepaskan mata pencahariannya dalam rangka beribadah.
6. Ajaran islam bersifat WUDHUH (Jelas)
Sifat wudhuh meliputi persoalan yang ushul maupun qawa’id. Dalam masalah ushul dan kaidah, ajaran islam memiliki prinsip yang jelas, yakni mengimani Allah itu Esa dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengimani Rasulullah dengan tidak mengikuti ajaran selainnya. Mengimani adanya hari kiamat yang pasti terjadi. Semua prinsip-prinsip ini tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Islam memiliki landasan sumber hukum yang jelas, semuanya bersumber dari rabbul’alamin yang Maha Perkasa dan Bijaksana. Sumber pertama adalah Al-Qur’an dan sumber kedua adalah As-Sunnah. Sasaran dan tujuan islam pun sangat pasti, yakni hanya untuk meraih ridha dan jannah-Nya.
Demikianlah tips mengenali ajaran agama islam secara kaffah. Penulis pun berpendapat untuk mengimplentasikan keinginan para petinggi agama “back to qur’an” tiada lain untuk mencegah agar umat tidak semakin terjebak pada pikiran-pikiran nyeleneh yang membingungkan. Budaya dialogis perlu terus dikembangkan dalam setiap aspek permasalahan sebagai realitas manusia yang dilengkapi kemampuan berpikir sebagai makhluk yang mendapat amanah untuk menjadi kalifah di bumi. Dan untuk tidak sekedar disebut latah, dipenghujung tulisan izinkan penulis ikut serta melontarkan pikiran nyeleneh yang tidak perlu dijadikan anutan “jangan tinggalkan sholat kecuali lupo, jangan berzinah kecuali suko samo suko, dan jangan korupsi kecuali babagi duo. Akan tetapi, pahami dan camkanlah enam kunci filosofi hidup “karajo bapaluah, makan batambuah, lalok bakaruah, buang aia lasuah, pikiran indak karuah dan jiwa tidak mangaluah”. Akhirnya, bagi para penyeleneh semoga jalan lurus “syiratal mustaqiim” selalu terbuka bagi umat yang mau berpikir dalam mencari redho-Nya.(Zalzulifa)
Langganan:
Postingan (Atom)