Hampir semua media baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini gencar menyoroti masalah percaloan dan korupsi yang terjadi di Indonesia. Sebagai pembaca aktif, satu hal yang muncul dalam pikiran penulis ialah adanya pepatah orang tua yang mengatakan “anak bagaimana bapaknya”. Artikel ini muncul juga didorong oleh keinginan untuk berbagi kesan atas kunjungan penulis ke negara jiran atas undangan pemerintah Malaysia (8 s.d 20 Agustus 2005) mengikuti pelatihan Instructional Design and Content Development di Multimedia University. Menurut hemat penulis, kemajuan yang dicapai Malaysia tidak terlepas dari kepemimpinan visioner yang direpresentasikan oleh kepiawaian Mahathir memainkan stratetegi politik global yang dikenal lantang mengajak bangsa melayu melawan hegemony barat dengan otak ketimbang otot. Selanjutnya tampilan kesederhanaan seorang pemimpin dalam diri seorang Abdullah Baidowi, juga telah menjadi penyejuk jiwa bagi warganya untuk tidak berpikir instan sedikit usaha serta mengorbankan nilai kritis intelektual demi sebuah kekuasaan. Bahkan, kombinasi arif kepemimpinan generasi tua dan progressifnya generasi muda semakin tampak jelas dari semangat yang terkandung dalam kata sambutan Prof Datuk Dr. Ghauth Jasmon, President Multimedia University tempat penulis mengikuti pelatihan bahwa keberadaan universitas swasta pertama yang ia pimpin sebagai ujud nyata dari ikon motivasi pembangunan bangsa Malaysia yang progresif, dinamis, berperadaban dan dihormati. Implementasinya, masyarakat digiring kearah rasionalitas berpikir sehingga tidak satu pun media tivi menyiarkan cerita-cerita mistik sebagaimana kita saksikan di berbagai media televisi Indonesia dewasa ini. Kalau di negara jiran banyak sarana umum monumental dibangun dari hasil keuntungan eksplorasi minyak bumi oleh Pertronas, berbeda dengan apa yang kita saksikan di Indonesia---banyak bangunan mewah ternyata menjadi milik pribadi mantan direktur sebuah usaha milik negara. Disinilah para pemimpin Malaysia dapat dikatakan telah berhasil meletakkan nilai dasar keyakinan bangsa mayoritas muslim untuk tidak terisolasi dalam pergaulan global. Ini artinya, potret kepemimpinan visioner dari seorang pemimpin yang tahu saatnya turun dari gelanggang kekuasaan telah menjadi sumber inspirasi pembangunan akhlak bangsa atas pijakan keyakinan yang lurus.
Berangkat dari kesan yang muncul selama kunjungan singkat di Malaysia dan adanya fenomena korupsi ataupun percaloan di tanah air, maka selaku guru Bahasa Inggris penulis ingat kata “broker”, kata pemantik untuk mengatakan secara halus dan keren istilah yang dikenal umum dengan kata “calo”. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan profesi calo, asalkan dijalankan secara profesional dan mengambil hak secara proporsional atas profesi tersebut. Namun, kini tampaknya kata calo menjadi kata yang cukup populer untuk menggambarkan fenomena korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Saking populernya, profesi calo tidak hanya ada dalam urusan ekonomi, bahkan juga dalam urusan budaya, keyakinan religi, dan demonstrasi---sebagaimana kita saksikan betapa profesi itu dengan bangganya dipertontonkan oleh seorang mantan presiden ikut long march demonstrasi menolak tercapainya proses damai di negeri serambi mekah---yang notabene dulunya ketika menjabat tidak pernah disentuh untuk diselesaikan secara tuntas. Petanyaannya, apakah semua ini merupakan buah kepemimpinan yang ternyata lebih bermental “calo” ketimbang “cere”? Kamus Bahasa Indonesia, Peter Salim (1991) mendefinisikan kata calo sebagai seorang perantara dengan kata sifat atau ajektifnya calung, yakni suka menerima suap atau sogok. Sementara kata cere ialah sejenis pohon padi yang cepat menghasilkan buah. Untuk kata kedua ini, kita tentunya ingat pepatah “jadilah manusia padi, semakin berisi semakin merunduk”.
Menyaksikan fenomena kepemimpinan calo, seakan mengingatkan kita kepada perilaku kepemimpinan raja yang bisanya hanya duduk manis di kursi singgasana menanti upeti---padahal idealnya raja alim raja disembah, raja zalim raja dibantah. Rasanya kita mulai rindu ingin menyaksikan berbagai tayangan media cetak maupun elektronik tentang keberhasilan produk sebuah kepemimpinan motor, kreator, fasilitator, mediator dan inovator kegiatan eksplorasi sumberdaya alam olah pikir anak bangsa yang dapat mendatangkan manfaat besar bagi kehidupan manusia---bukan buah kepemimpinan calo yang berpikir sebatas komisi. Seyogyanya sudah saatnya muncul kesadaran bahwa tayangan mistik hanyalah menjadi provokator perusak moral yang berakibat munculnya sikap pesmistik pasrah kalah oleh kekuatan makhluk lain. Bagaimana kita akan menjadi bangsa besar yang dihormati dan dihargai apabila untuk sebuah keyakinan saja banyak para figur berlabel agama seakan mencari-cari format keyakinan berdasar akal pikirannya. Akibatnya masyarakat awam pun jadi bingung dikala tokoh panutan memutarbalikkan fakta haram jadi halal dan halal pun menjadi haram.
Sesungguhnya, nalar awam pun menyadari bahwa mengelola sebuah negara besar seperti Indonesia dengan penduduk 220 juta jiwa tidak semudah membalik telapak tangan. Jangankah mengurus negara, untuk mengurus organisasi setingkat rukun tetangga saja butuh kemampuan manajerial dengan visi dan misi yang kuat. Dengan visi setidaknya dapat menjadi indikator awal sejauhmana kejujuran sang pemimpin dan saatnya ketika dikritik tidak bersikap arogan tinggi hati menutup diri untuk membangun kepemimpinan dialogis---apakah sang pemimpin tergolong sidik (jujur), tabligh (penyampai yang baik), amanah (dipercaya), dan fathonah (cerdas)---dan apakah tergolong pemimpin pembuat masalah (problem makers), pemelihara masalah (problem keepers) atau penyelesai masalah (problem solvers). Kata orang bijak, saatnya kita butuh figur pemimpin yang cerdas mencerdaskan, bukan mencedrai; pintar memintarkan, bukan memintari; hidup menghidupkan, bukan menghidupi; cerdas ikhlas pintar benar, bukan cerdas culas pintar keblingar.
Sorotan berbagai media terhadap wajah pemimpin yang sibuk menjawab seolah tanpa dosa atas perilaku korupsi berjamaah yang ia lakukan (diantaranya Dana Abadi Umat maupun BBM), logika masyarakat seakan dijungkirbalikkan karena merekalah pemilik kebenaran sejati. Kita tentu tidak yakin bahwa para pemimpin kita tergolong orang-orang yang sekedar mencari makan atau pengisi perut dibalik sebuah kekuasaan. Karena secara kasat mata mereka bukan golongan ekonomi lemah yang berpikir masih sekitar pusar alias usus. Nalar sederhana masyarakat biasa pun pasti mengatakan bahwa mereka semua pasti tahu bahwa telah terjadi peristiwa busung lapar, siswa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah, dan peristiwa mengenaskan lainnya yang terjadi di setiap sudut pelosok bumi pertiwi nan subur makmur nyanyian tempo dulu.
Patut hendaknya kita syukuri bahwa masyarakat saat ini sudah mulai cermat memperhatikan setiap kata demi kata sang pemimpin karena sadar akan hukum alam “sekali berbohong akan terjebak pada perilaku bohong berikutnya”. Masyarakat tentunya menyadari ketidakpantasan menyerahkan amanah tugas “sebagai pelayan publik” kepada orang yang terjebak pada kondisi kepemimpinan yang tidak memimpin, penguasa yang tidak berkuasa. Yakni, figur yang dikala menghadapi masalah cenderung menjadikan sebuah momen untuk keuntungan pribadi dengan mengambil posisi sebagai juru(s) selamat ketimbang juru(s) penyelamat---pemimpin yang tidak sportif, yang apabila menghadapi masalah cenderung melempar tanggung jawab bagaikan pemimpin berkaca mata hitam yang bisanya melihat orang lain tanpa mau memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Disinilah kita butuh kepemimpinan yang mempunyai keperibadian kuat, jujur, cerdas dan berani; bukan kepemimpinan yang rela mengorbankan nilai-nilai keyakinan serta intelektual tanpa memberi pencerahan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Malaysia mungkin beruntung memiliki pemimpin yang tahu saatnya untuk turun dari gelanggang. Akan tetapi, bangsa Indonesia tentunya berharap agar kepemimpinan calo bukanlah tipikal umum pemimpin kita yang hanya karena kebutuhan perut dan iming-iming sejumlah kecil nilai rupiah turut melanggengkan proses kebangkrutan negara dengan membiarkan berbagai virus penyebab multi krisis (moral, budaya, ekonomi, politik, dan hukum) menjadi semakin subur. Menjadikan perilaku korupsi sebagai musuh bersama barangkali cukup relevan dengan kriteria umum penegak amal ma’ruf nahi mungkar, yang dirangkum oleh para agamawan dalam lima kriteria pemimpin pilihan, yaitu: [1] Bertakwa, [2] Jujur dan adil, [3] Cakap dan kompeten, [4] Mencintai dan dicintai rakyat, dan [5] Berakhlak mulia. Seorang bertakwa selalu takut berbuat maksiat, apalagi menzalimi. Seorang jujur dan adil akan selalu membela yang benar, tidak mementingkan diri sendiri. Seorang yang cakap dan kompeten tahu dan mampu bagaimana mengurus organisasi dengan baik. Seorang yang mencintai dan dicintai akan selalu mengedepankan program yang memberi kemanfaatan secara luas. Seorang berakhlak mulia gemar pada kebaikan dan akan selalu dapat menjadi teladan di lingkungannya yang saat ini hampir hilang dari negeri ini.
Terlelas dari rasa pesimistik anak bangsa untuk terciptanya negeri makmur gemah ripah loh jenawi toto tentran kertareharjo, penulis masih melihat secercah harapan dari langkah nyata Bapak Machtuh Basyuni memberantas korupsi dengan terlebih dahulu menyampaikan kepada anggota keluarga “untuk tidak menginjak lantai kantor Departemen Agama kalau hanya untuk sekedar mencari order” dalam pidato acara berbuka bersama di rumah beliau satu minggu sebelum dilantik menjadi menteri agama. Bagi penulis, sekalipun presiden saat ini adalah pilihan kedua setelah sang idola penulis gugur pada putaran pertama, semoga saja langkah menteri agama tersebut diikuti oleh para menteri lain atas dukungan penuh komitmen Susilo Bambang Yudhoyono sebagai seorang presiden dengan kepemimpinan visioner, bukan “kepemimpinan calo atau broker yang nyata-nyata telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa selama ini. Dengan gaya kepemimpinan presiden yang responsif, akomodatif, dan komunikatif, kita tidak lagi dapat mengatakan telah memiliki pemimpin dalam konteks “kecelakaan sejarah” sebagaimana istilah Bapak Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) antara Pelit Bicara dengan sulit Berhenti Bicara. Akan tetapi, dengan gelar honoris causa yang baru saja disandang, sejarah akan mencatat SBY sebagai presiden Indonesia yang kaya wacana dan banyak karya. Selamat!!!(Zalzulifa)
Rabu, 30 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar